Sabdo Pandhito Ratu, HB IX : “Hamengku Buwono akan tetap terus ada sbgmn pernah ada pada ratusan tahun yg silam”
———–
“Kalau gubernurnya bukan Sultan Yogya, berarti sudah tidak ada keistimewaan Yogya lagi,” kata Poeroeboyo….

HB VIII, HB IX, lalu ….

Oleh : Iqranegara

18 OKTOBER 1939 Di dermaga Tanjungpriok berlabuh kapal barang Dempo, setelah menempuh perjalanan berminggu-minggu dari Negeri Belanda. Walau ini kapal barang, toh diisi banyak penumpang.

Salah seorang penumpang bernama Dorodjatun. Ia mendadak dipanggil pulang setelah 9 tahun menimba ilmu di negeri dingin itu. Ia memang harus pulang, sebelum studinya selesai. Sebuah telegram dilayangkan ayahandanya, Hamengku Buwono VIII, Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Situasi dunia saat itu kian memburuk. Hitler menyerbu Polandia, Perang Dunia II pecah. Api peperangan berkobar di mana-mana. Eropa panas dan genting. Sultan Ha- mengku Buwono VIII pun cemas. Maka, ia memanggil pulang lima putranya yang belajar di Belanda agar segera pulang. Tapi karena tempat kosong di kapal Dempo hanya untuk seorang, Dorodjatunlah yang didahulukan. Dia memang yang paling diharap untuk segera tiba di Yogya.

Saat itu Dorodjatun sudah duduk di tingkat doktoral, menempuh jurusan irldologi pada Rijksuniversiteit, di kota mahasiswa Leiden. Toh dia memahami kecemasan ayahnya, yang saat itu sedang sakit.

Setiba di Tanjungpriok, Dorodjatun dijemput sanak keluarganya dengan sembah hormat, dalam bahasa Jawa krama inggil. Dorodjatun pun terhenyak. “Semua ini adalah atas dawuh dalem,” begitu saudara saudaranya menjelaskan. Mereka kemudian menuju Hotel Des Indes (kini Pusat Pertokoan Duta Merlin), Jakarta, tempat Sultan Hamengku Buwono VIII menginap.

Di Hotel Des Indes, tak ada percakapan serius antara Sultan dan Dorodjatun. Terlalu banyak acara yang harus dipenuhi Sultan selama berada di Batavia — Jakarta tempo dulu. Namun, di hotel yang bersejarah itulah Sultan Hamengku Buwono VIII menyerahkan keris Kiai Jaka Piturun kepada Dorodjatun, putranya dari permaisuri. “Diserahkannya keris itu kepada saya menjadi jelaslah maksud Ayah, bagi saya dan saudara saudara saya,” kata Dorodjatun, seperti dituturkannya dalam Tahta untuk Rakyat.

Inilah awal sebuah suksesi di keraton Yogya. Karena keris pusaka itu, yang sampai sekarang tersimpan di keraton, selalu diserahkan raja Yogya kepada seseorang yang dikehendaki sebagai penggantinya. HB VIII, 59 tahun, saat itu sudah punya firasat, “waktunya telah dekat”.

Diabetes akut kian hari menggerogoti kesehatannya. Tiga hari setelah kedatangan Dorodjatun keluarga besar Sultan HB VIII kembali ke Yogyakarta menumpang kereta api Eendaagse (kereta api cepat saat itu) dari Stasiun Gambir. Tak lama setelah kereta lepas dari Batavia, HB VIII pun jatuh sakit.

Menjelang masuk Cirebon, Sultan pingsan. Sesampai di Yogyakarta, Sultan langsung diangkut ke RS Onder de Bogen (kini RS Panti Rapih). Minggu Kliwon, 22 Oktober 1939 Hamengku Buwono VIII wafat, bertepatan dengan hari wafatnya pendiri Kesultanan Yogyakarta, Hamengku Buwono I. Gubernur Jenderal Dr. Lucien Adam mengambil alih kekuasaan keraton Yogyakarta.

Esoknya, sebuah panitia yang tugasnya mengurus pemerintahan keraton dibentuk. Panitia 5 orang ini diketuai Dorodjatun, yang ketika itu 27 tahun. Dorodjatun saat itu belum pangeran. Padahal, empat sanak saudaranya lebih tua. Mereka G.P.H. Mangkukusumo, kakak Hamengku Buwono VIII, yang dilahirkan dari permaisuri Hamengku Buwono VII. Lalu G.P.H. Tedjokusumo adik G.P.H. Mangkukusumo. Dua yang lain, kakak-kakak Dorodjatun, Pangeran Hangabehi dan Poeroeboyo.

Maka, jika Dorodjatun diangkat sebagai ketua panitia, tak lain adalah upaya memenuhi kehendak Almarhum Hamengku Buwono VIII, yang tecermin lewat penyerahan keris pusaka Kiai Jaka Piturun. Di sinilah Dorodjatun tampil sebagai seorang demokrat. Ia tak begitu saja mengangkat dirinya sebagai Hamengku Buwono IX.

Semua kerabat dikumpulkannya. Secara terbuka dan langsung ia menanyakan, siapa di antara kerabatnya yang ingin tampil menjadi sultan. Suara bulat justru menunjuk Raden Mas Dorodjatun. Toh peralanan ke puncak singgasana masih menemui rintangan. Bukan dari kalangan kerabat keraton, tetapi dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Masalahnya adalah warisan sejarah. Sejak dahulu, Kerajaan Mataram bergantun pada Kompeni (VOC dalam masalah suksesi kepemimpinan, yang kala itu memang sering terjadi konflik intern). Sejak abad ke-18 setiap terjadi pergantian sunan atau sultan, campur tangan VOC menentukan.

Alkisah, Dorodjatun pun berunding empat mata secara maraton dengan Gubernur Jenderal Lucien Adam. Perundingan itu berjalan alot, empat bulan tak ada hasilnya. Ada tiga penyebab alotnya perundingan. Soal jabatan patih, dewan penasihat, dan prajurit keraton. Patih yang diinginkan Belanda adalah pengemban dwikesetiaan, pegawai pemerintahan Belanda dan sekaligus pegawai kesultanan. Dewan penasihat yang separuh anggotanya diusulkan Belanda ditolak Dorodjatun.

Sebaliknya, Dorodjatun yang menghendaki kebebasan suara dewan ditolak oleh Lucien Adam. Tentang prajurit keraton, Belanda menginginkan menjadi legiun, bagian dari tentara Hindia Belanda di bawah komando KNIL. Tetapi kesultanan yang mencari, mendidik, dan menggajinya. Itu jelas ditolak Dorodjatun.

Perundingan ini macet sampai akhir Februari 1940. Di sebuah senja menjelang dilanjutkannya perundingan, Dorodjatun berbaring mengusir kelelahan fisik dan pikiran. Ia terlena di hari yang mulai gelap itu. Antara tidur dan terjaga, sebuah suara entah dari siapa, terdengar: “Tole, tekena wae, Landa bakal lunga saka bumi kene.” (Anakku, tanda tangani saja, Belanda bakal pergi dari bumi ini).

Ia terjaga. Terkesima sejenak diliputi rasa bimbang dan hati ragu. Ia sadar bisikan gaib itu adalah wisik (petunjuk dari atas) dari nenek moyangnya. Namun, Dorodjatun tak lama diganggu keraguan. Ia yakin, wisik itu adalah petunjuk berharga. “Silakan Gubernur menyusun kontrak politik itu. Nanti saya tanda tangani,” kata Dorodjatun.

Giliran Gubernur Lucien Adam terheran-heran. Calon raja itu berbalik sikap 180 derajat. Perundingan pun berlangsung teramat pendek. Hanya 10 menit. Tanpa diskusi. Tanpa bersilat kata.

Kontrak politik pun disusun. Dalam dua bahasa Belanda dan Jawa. Berisi 17 bab terdiri atas 59 pasal. Tanpa dibaca lagi kontrak politik ditandatangani Dorodjatun, 12 Maret 1940 dalam sebuah upacara di Tratag Prabayeksa, dalam kompleks istana. Kontrak itu berlaku mulai sejak Dorodjatun duduk di takhta.

Maka, hari-hari pun diwarnai kesibukan yang luar biasa. Sepanjang Malioboro sampai Jetis terang-benderang. Warga pedesaan tumpah di jantung kota. Rakyat berebut tempat terdepan di sepanjang jalan yang dilalui kirap. Keraton Yogya punya sultan yang baru.

18 MARET 1940 Hari itu, Senin Pon, wuku Galungan, dengan penanggalan Jawa 8 Sapar tahun Dal 1871. Bangsal Kencana dipenuhi para tamu dengan pakaian kebesaran. Puku 10.30, Gubernur Lucien Adam memasuki Regol Danapertapa disambut Dorodjatun. Lagu kebangsaan Belanda Wilhelmus berkumandang. Dorodjatun berdiri di sebelah Lucien Adam. Didahului prosesi kesultanan mereka menuju Bangsal Manguntur Tangkil. Di situlah sebuah suksesi kesultanan Yogyakarta berlangsung.

Detik demi detik terasa bersejarah. Pukul 11.00 Lucien Adam atas nama pemerintah Hindia Belanda menobatkan Gusti Raden Mas Dorodjatun sebagai putra mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibja Radja Putra Narendra Mataram. Pukul 11.05. Masih dalam suasana khidmat, putra mahkota baru itu dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta dengan gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kandjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sajidin Panatagama Kalifatullah Kaping IX.

Resmilah sudah, Dorodjatun menjadi Sultan Hamengku Buwono IX, ditandai gending Monggang yang agung dan mistis. Juga bunyi rentetan tembakan salvo senapan dan dentuman meriam tiga belas kali yang menggelegar memecah keheningan.

*
Hamengku Buwono IX membawa angin baru. Lahir 12 April 1912, sejak kecil dididik dan dititipkan pada keluarga Belanda, Dorodjatun betul-betul tampil sebagai raja yang disiapkan ayahandanya. Pergaulannya dengan alam Barat membuat ia terbiasa berpikir modern. Ia menaruh perhatian yang besar pada masalah politik dan ekonomi. Ia rajin mengikuti diskusi di lingkungan universitas yang dipimpin oleh seorang guru besar yang disegani, Prof Schrieke.

Ia pun gemar bermain bola. Ia terbiasa berkeringat di lapangan hijau. Di kesebelasan mahasiswa di Belanda Dorodjatun amat populer sebagai penjaga gawang yang tangkas. Dan dia kini raja.

Namun, ketika Dorodjatun menjadi HB IX, dia bukanlah Malin Kundang — yang tercerabut dari akarnya. Dia tetap sosok yang berpijak di buminya Jawa, dengan segala tradisi dan adat keraton. Ketika ia dinobatkan, ia menyadari betapa tugas yang sulit dan berat ada di pundaknya. “Ini menyangkut mempertemukan jiwa Barat dan Timur agar dapat bekerja sama dalam suasana harmonis, tanpa yang Timur harus kehilangan kepribadiannya.”

“Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, pertama-tama saya adalah dan tetap orang Jawa. Maka, selama tak menghambat kemajuan, adat akan tetap menduduki tempat yang utama dalam keraton yang kaya akan tradisi,” demikian pidato HB IX sebagai raja baru yang diucapkan dalam bahasa Belanda.

Orang Jawa? “Jawa dalam arti Indonesia, bukan dalam arti watak Jawa, bukan dalam arti feodal.” kata Hamid Algadri kepada TEMPO. “Ia sosok yang demokratis. Meski raja, ia bukan tipe ningrat yang suka diladeni dengan segala tata cara keningratan. Ia bahkan mengkritik kebanyakan ningrat yang masih suka pelayanan berlebihan,” kata Hamid, pejuang keturunan Arab yang kini 74 tahun, sabahat HB IX sejak revolusi fisik 1945.

Pidato Sultan HB IX saat penobatan itu jauh dari pemanis bibir. Ucapannya dipegangnya teguh, sabda pandita ratu. Ia berpikir cara modern tapi ia menghormati tradisi panjang leluhurnya. Sejumlah kebiasaan lama yang dianggap kurang pantas dihapus, setidaknya diluruskan.

Sultan, sebagai pewaris tradisi, tak hendak melenyapkan kepercayaan rakyatnya pada sesuatu yang berbau mistis, misalnya saja legenda Nyi Roro Kidul, penguasa Segara Selatan. Kepercayaan terhadap Nyi Roro Kidul, kata Poeroeboyo, 82 tahun, memang sudah menjadi tradisi masyarakat. Karena itulah Sultan tak ingin menghapus legenda purba itu.

Tradisi labuhan dulu dikaitkan dengan upacara memperingati hari penobatan Sultan. Prosesi ini adalah membuang sesaji untuk Nyi Roro Kidul, yang dipercaya masyarakat sebagai istri bersama para raja Jawa.

Di masa Sri Sultan Hamengku Buwono IX, prosesi itu tetap dipertahankan. Cuma, upacara itu dijadikan peringatan kelahiran Sultan, yakni 25 Bakda Maulud dalam kalender Jawa. “Sedang arti sesaji itu adalah pernyataan syukur,” kata Poeroeboyo kepada TEMPO.

Upacara lain di keraton tetap berjalan sebagaimana biasa. Tata cara berpakaian, dari baju sampai mengenakan keris, masih dihormati, termasuk oleh Sultan sendiri. Estetika atau keindahan keraton tetap dijaga, termasuk melestarikan seni budayanya. Gelar-gelar pun masih tetap diberikan terbatas untuk lingkungan keraton.

Sultan, yang di masa mudanya adalah penari keraton yang aktif, menciptakan Beksa Golek Menak. Tapi ia tak puas kalau tari gaya keraton itu mandek begitu saja. Ia lalu berniat mengadakan pembakuan. April 1987, ide Sultan ini dibicarakan dengan para ahli tari lewat sarasehan. Ia menunjuk Prof. Dr R.M. Soedarsono sebagai ketua tim pengembangan tari itu. Setelah ditelaah para ahli tari ditemukan bahwa ciptaan HB IX ini memiliki 16 tipologi karakter.

“Padahal Sri Sultan memperkirakan paiing banyak hanya 10 tipologi karakter,” kata Soedarsono, yang juga Pembantu Rektor Institut Seni Indonesia. Sultan lantas meminta agar diadakan workshop. Di sini Sultan selalu hadir dan memberikan saran. “Inilah warisan penting Sri Sultan dalam bidang kesenian Jawa,” tambahnya.

Rencananya, Februari tahun depan, tari itu dalam keadaan baku akan dipergelarkan di Keraton Yogya. Melestarikan dan membakukan tari tadi adalah sebagian dari sejumlah keinginan Sultan dalam memberi cahaya baru bagi Keraton Yogya.

Keinginan yang sudah diwujudkan, antara lain, membebaskan alun-alun utara dari keramaian ingar-bingar yang tak ada kaitannya dengan keraton. Pasar Malam Sekatenan tahun ini, misalnya, tak lagi menggunakan alun-alun itu. Kios-kios berdiri di tepi jalan raya di luar alun-alun. Sekatenan itu sendiri sebagai upacara keraton, barulah menggunakan alun-alun. Mengapa Sultan menaruh perhatian besar pada alun-alun? Ia ingin mengajak masyarakat agar mengenang tradisi masa lalu yaitu pepe — rakyat berjemur di alun-alun untuk menyampaikan protes kepada sang raja.

Keinginan Sultan dalam kaitan pembenahan keraton ini, menurut G.B.P.H. Joyokusumo, putra Sultan dari K.R.A. Windyaningrum, memang menyeluruh termasuk mengembalikan fungsi tembok keraton yang dikenal dengan Benteng Keraton. Dalam kasus benteng hingga kini belum selesai, karena menyangkut penggusuran sejumlah kepala keluarga.

Dan 3 Oktober 1988, Senin Wage Sri Sultan Hamengku Buwono IX wafat. Almarhum bukan saja meninggalkan sejumlah keinginan yang belum terwujud, juga tanda tanya besar: bagaimana masa depan Keraton Yogya? Yang segera menjadi pertanyaan umum adalah siapakah pengganti HB IX?

Selama ini Sultan belum menunjuk seorang putra mahkota walau anak lelakinya tertua bergelar Pangeran Mangkubumi. Sultan HB VIII sebelum wafat pun tak menunjuk putra mahkota — bahkan tak ada anaknya bergelar Pangeran Mangkubumi — namun ada simbol penunjukan dengan diserahkannya keris Kiai Jaka Piturun itu.

Keris itu kini tersimpan di keraton, tak diserahkan HB IX kepada siapa pun. “Sri Sultan tak meninggalkan wasiat apa-apa. Siapa yang akan menggantikan Sri Sultan dan memimpin upacara di keraton, itu soal nanti,” kata Joyokusumo. “Yang dipikirkan sekarang bagaimana menyelenggarakan pemakaman sebaik-baiknya.”

Sultan punya 22 anak dari 4 istri (Ny. Norma, istri terakhir, tak memperoleh keturunan dengan Sultan) yang berstatus sama, gara ampeyan. Lelaki tertua dari 16 putra sultan adalah K.G.P.H. Mangkubumi, terlahir bernama Raden Mas Herjunodarpito, dari ibu K.R.A. Windyaningrum.

Bagi sesepuh Keraton Yogya, G.P.B.H. Poeroeboyo, penganti HB IX itu sudah jelas K.G.P.H. Mangkubumi. “Walau Sri Sultan tidak mengangkat putra mahkota, menurut tradisi maka Mangkubumi sebagai pengganti Sri Sultan di keraton,” kata Poeroeboyo kepada I Made Suarjana dari TEMPO.

Juga dengan angka X di belakang HB? “Lha, angka itu ‘kan hanya nomor urut untuk memudahkan penulisan sejarah atau menyebutnya agar tidak kabur antara sultan terdahulu dan sultan berikutnya. Kalau tidak memakai nomor, apa alasannya?” tanya Poeroeboyo. Pengangkatan Sultan HB X itu, menurut kakak Sultan HB IX ini, “tidak terancang ada tidaknya wasiat dari Sultan terdahulu.”

Menurut Poeroboyo, Mangkubumi pun berhak pula menjadi Gubernur DIY. Karena keistimewaan Yogya adalah gubernurnya tidak dipilih oleh DPRD tetapi mendudukkan Sultan Yogya sebagai Gubernur DIY. “Kalau gubernurnya bukan Sultan Yogya, berarti sudah tidak ada keistimewaan Yogya lagi,” kata Poeroeboyo.

K.G.P.H. Mangkubumi, kini Ketua DPD Golkar DIY dan anggota DPR/MPR, oleh banyak orang tidak diragukan kemampuannya. Pengalaman politiknya cukup. Pemerintah mungkin saja dengan lancar melantik dia sebagai Gubernur DIY, sesuai dengan keistimewaan daerah itu. Kerabat keraton pun pasti bisa menerima dia sebagai kepala keluarga untuk memimpin upacara. Tapi, siapakah yang akan melantik Mangkubumi sebagai Hamengku Buwono X, Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat?

[Majalah Tempo 08 Oktober 1988 – Putu Setia dan Budino Darsono]

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1988/10/08/NAS/mbm.19881008.NAS28315.id.html

https://iqranegara.wordpress.com/2010/12/13/hb-viii-hb-ix-lalu/

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.