Park Jong Chul, Sebuah Kisah Tragis di Korea Selatan |
Park Jeong-Ki berumur 59 tahun saat dia kehilangan anak termudanya dengan sadisnya pada 14 Januari, 1987. Bahkan setelah 3 dekade berlalu, dia masih belum bisa menyingkirkan kisah tragis anaknya tersebut dari benaknya. Sudah merupakan kebiasaan untuk mengambil selembar tisu ketika secara tiba-tiba ia teringat oleh anaknya, Park Jong Chul yang terbunuh saat masih berumur 23 tahun.
Akhir – akhir ini bahkan dia sering secara tanpa sadar melakukan gestur tersebut meskipun ketika kedua matanya kering.
“Ini merupakan sebuah penyakit,” kata Park. “Biasanya orang menangis ketika mengalami peristiwa yang membuat mereka sedih, tapi air mataku jarang kali, bahkan hampir tidak pernah mengalir, sekeras apapun aku mencoba.”
Tahun ini menandai 31 tahun terbunuhnya Park Jong Chul, mahasiswa aktivis pro demokrasi yang melakukan demonstrasi terhadap kekuasaan otoritarianisme mantan Presiden Korea Selatan, yaitu Presiden Chun Doo Hwan. Park Jong Chul , yang pada saat itu menjabat sebagai ketua Fakultas Bahasa Universitas Seoul, disiksa hingga mati oleh polisi pada saat ditanyai perihal keberadaan seorang ketua radikal kampus.
Pihak berwajib pada awalnya menyatakan bahwa kematian Park Jong Chul merupakan sebuah akibat dari syok berat. Namun setelah perjuangan dari sebuah dokter, jaksa, koran lokal “JoongAng Ilbo” yang merasa bahwa pernyataan pihak berwajib janggal, terkuaklah sisi lain dari kisah Park Jong Chul, yang memotori Pergerakan Demokrasi Bulan Juni.
Protes tersebut dilakukan oleh kurang lebih 200.000 orang dari berbagai penjuru di Korea, dengan maksud untuk memaksa pemerintahan otoritarianisme tersebut melakukan perubahan secara sepenuhnya ke jalan demokrasi, juga pemilihan presiden yang dilakukan berdasarkan pemungutan suara secara langsung oleh rakyat Korea.
Koran JoongAng Ilbo, yang secara eksklusif memberitakan kematian Park Jong Chul, baru-baru ini menyisihkan waktu mereka untuk mewawancarai orang- orang yang terlibat dalam peristiwa Pergerakan Demokrasi Bulan Juni untuk mendengar isi pikiran mereka mengenai seorang aktivis mahasiswa yang mempengaruhi perubahan pemerintahan Negara Korea ke jalan yang lebih baik.
“Saya selalu memikirkannya,” kata Park Jeong Ki, ayah dari Park Jong Chul. “Tapi aku tidak pernah menceritakan apa yang ada di benakku kepada siapapun. Dia — Park Jong Chul — sering kali secara tak tentu muncul sebagai perbincangan saat kumpul keluarga, tetapi kita tidak pernah secara terbuka berbincang tentangnya, kami selalu berusaha untuk mengubah topik pembicaraan.”
Park Jeong Ki bekerja di pemerintahan Kota Busan hingga kematian anaknya, hingga akhirnya dia menjabat sebagai wakil presiden, presiden, dan penasihat sebuah kelompok keluarga yang kehilangan orang yang mereka sayangi saat Pergerakan Demokrasi Bulan Juni.
“Saat aku menghidupkan tv untuk melihat berita dan melihat beribu-ribu mahasiswa turun ke jalan untuk melakukan aksi demo,” kata Park Jeong Ki, “sosoknya selalu terngiang dalam pikiranku.”
Oh Yeon Sang merupakan seorang dokter dari Rumah Sakit Universitas Chung Ang ketika ia pertama kali bertemu dengan Jong Chul di sebuah ruang interogasi kecil di dalam markas departemen anti-komunisme yang dimiiliki oleh polisi.Satu-satunya hal yang terlintas di pikirannya pada detik itu adalah untuk menyelamatkan Park Jong Chul, seorang pasien sekarat yang terlihat tidak mengenakan sekain pun pakaian di tengah dinginnya Korea pada saat itu, setelah diinterogasi oleh petugas kepolisian.
Jong Chul berbaring di lantai, tak bergerak sedikit pun. Oh bergegas lari untuk melakukan CPR kepadanya, tapi setelah setengah jam terbukti bahwa Jong Chul tidak akan menghembuskan napasnya lagi di dunia ini.
“Saya mengatakan kepada petugas kepolisian bahwa dia sepertinya sudah meninggal,” kata Oh, yang berumur 60 tahun itu.” Mereka membungkus tubuhnya menggunakan selimut dan membuangnya secara begitu saja ke sebuah elevator.”
Hari berikutnya, pada 15 Januari 1987, sekumpulan wartawan menyerbu kantor Oh dengan berbagai pertanyaan dalam pikiran mereka, tentunya bersangkutan dengan kematian Park Jong Chul. Oh hanya mengatakan apa yang ia lihat dengan kedua matanya: “Pada saat itu ada sebuah bak. Saya mendengar gelembungan air yang pecah di dalam paru-parunya. Lantainya basah.” Sang doctor menolak mengatakan lebih dari itu, tapi tentunya para wartawan merasakan ada sesuatu yang berakhir tidak sesuai yang diinginkan, sesuatu yang tragis.
Setelah hari itu, Oh dicari oleh berbagai polisi dan jaksa. Selama seminggu dia terpaksa untuk bersembunyi di hotel daerah luar Seoul. Disertai dengan teror akan pihak berwajib menangkapnya.
“Sejujurnya, saya tidak pernah berpikiran untuk berkata atas nama demokrasi,” kata Oh. “Sebagai dokter, menerangkan tentang kondisi pasiennya sudah merupakan kewajiban saya.”
Orang pertama di media lokal yang berhasil menguak sisi lain dari kematian Park Jong Chul adalah Shin Sung Ho, berumur 61 tahun, seorang professor di bidang jurnalisme dan komunikasi di Universitas Sungkyunkwan, yang pada saat itu merupakan wartawan surat kabar JoongAng Ilbo.
“Saya tahu saya bisa terjemurus ke dalam sesuatu yang berbahaya,” katanya, “akan tetapi semakin dalam saya menggalinya, semakin besar kepercayaan saya terhadap cerita tersebut.” Shin mengingat pengalamannya menginap di hotel selama berhari-hari untuk menhindari pihak berwajib.
Adalah Lee Hong Kyu, 80, pada saat itu merupakan seorang jaksa yang membeberkan sisi lain dari kematian Park Jong Chul kepada Shin. Dia diperintahkan oleh atasannya untuk tidak menceritakan sisi lain tersebut kepada siapapun, akan tetapi dia tetap saja menceritakannya, untuk menunjukkan bahwa pada akhirnya keadilanlah yang akan menang.
“Saya tidak bisa berpura-pura tak tahu,” kata Lee. “Saat saya melihat Shin, saya secara spontan kehilangan kontrol dan menceritakan segala yang saya tahu kepadanya.”
Hwang Jeok Jun, 70, seorang mantan petugas forensik yang bertugas mengautopsi Park Jong Chul, ditekan oleh petugas kepolisian untuk menulis dokumen resmi bahwa Park Jong Chul meninggal akibat “syok di jantungnya.” Hwang secara spontan dan tegas menolak hal tersebut, mengatakan bahwa Park Jong Chul meninggal akibat “tidak bisa bernapas akibat tekanan di lehernya.”
Hwang sekarang bekerja sebagai profesor medis di Universitas Korea.
“Ketika saya seorang mahasiswa medis,” katanya, “Saya diperintahkan untuk tidak pernah berkompromi dengan ketidakadilan.”
Choi Hwan, 74, mantan jaksa yang sekarang bekerja sebagai pengacara, mengingat bahwa ia pernah diperintahkan oleh polisi untuk secara segera membakar mayat Park Jong Chul dengan maksud untuk melenyapkan bukti-bukti bahwa dia disiksa oleh polisi. Choi menolak, membuat terciptanya waktu untuk kenyataan dari insiden tersebut untuk keluar ke publik.
“Saya dapat secara segera mengetahui bahwa dia disiksa,” ingat Choi. “Dan insting saya mengatakan kepada saya untuk menguak insiden ini hingga ke akarnya.”
Pada akhirnya Pergerakan Demokrasi Bulan Juni ini berhasil memaksa pemerintah negara Korea untuk membuat presiden dipilih melalui pemilihan umum, namun sayangnya pergerakan ini tidak secara sepenuhnya berhasil menghapus kekerasan yang mengisi politik domestik negara Korea Selatan hingga saat ini.
Dibuat oleh Rumi Rayhan Pekerti
Dan dibawakan oleh saya kembali disini