Pernikahan baru penyanyi terkenal Bunga Citra Lestari (BCL) dengan Tiko Aryawardhana pada bulan Desember mendapat sorotan tajam di media sosial, khususnya di Instagram milik BCL. Lebih dari 1.600 komentar memenuhi unggahan tersebut, dengan warganet menyuarakan beragam pandangan terkait keputusan BCL untuk menikah lagi setelah kehilangan suaminya, Ashraf Sinclair. Sebagian besar komentar menganggap langkah ini melanggar janji pada almarhum dan mengkritiknya, bahkan membandingkannya dengan banyak perempuan janda lainnya. Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan, menyoroti fenomena ini sebagai hasil dari konstruksi gender yang memposisikan perempuan sebagai simbol kesetiaan, menciptakan ekspektasi yang tak realistis terhadap mereka.

Jangan Lupa Baca Juga : Putri Ariani Mendapatkan Penghargaan dari AMI Awards sebagai Artis yang Memberikan Inspirasi pada Tahun 2023

Dalam kolom komentar Instagram BCL, pandangan negatif terhadap perempuan janda muncul dengan nyata. Banyak warganet meragukan keputusannya, menyebut Tiko Aryawardhana sebagai “bapak-bapak anak tiga” dan meragukan kemampuannya mempertahankan pernikahan. Meskipun ada dukungan, pandangan ini mencerminkan stigma dan ekspektasi berlebihan yang masih melekat pada perempuan janda. Andy Yentriyani mengungkapkan bahwa persepsi masyarakat seperti ini erat terkait dengan konstruksi gender yang menempatkan perempuan sebagai objek yang harus menjaga kesetiaan dan kesucian mereka, sementara laki-laki dianggap lebih bebas.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Bunga Citra Lestari (@itsmebcl)

Komunitas #SaveJanda, yang didirikan oleh Mutiara Proehoeman, juga menyoroti pengalaman anggotanya yang sering mendapat cemoohan saat memutuskan untuk menikah lagi. Proehoeman menekankan bahwa perempuan janda seringkali dihadapkan pada stigma dan stereotip yang merendahkan, seperti dianggap sebagai “barang bekas” atau gagal dalam pernikahan sebelumnya. Dia berpendapat bahwa perubahan dalam pandangan masyarakat terhadap perempuan janda sangat penting, memberikan mereka kesempatan untuk hidup tanpa terbebani oleh label negatif yang melekat.

Jangan Lupa Baca Juga : “Seribu Pelukan”, Persembahkan Mereka Yang Merindukan Orang Tersayang dari Raissa Ramadhani

Yuliyanto Budi Setiawan, seorang akademisi, menambahkan bahwa pelabelan negatif terhadap perempuan janda telah menjadi masalah yang berkepanjangan, dan media memainkan peran signifikan dalam menciptakan citra negatif ini. Istilah-istilah merendahkan seperti “janda gatel” atau “janda gambreng” menggambarkan perempuan janda secara negatif, membuat setiap tindakan mereka dianggap salah di mata masyarakat. Setiawan menegaskan hak perempuan janda untuk memilih menikah kembali, sebagaimana hak yang dimiliki pria yang menjadi duda. Dalam melawan stigma dan stereotip ini, masyarakat diingatkan untuk membuka peluang dan memberikan dukungan kepada perempuan janda agar dapat hidup tanpa terkekang oleh pandangan negatif dan ekspektasi yang tidak realistis.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.